BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Penegasan
Mengenai Judul
Karya ilmiah yang berjudul “Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan”
menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mempunyai arti sebagai berikut :
Kekerasan : Perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Terhadap : Kata depan untuk
menandai arah.
Kaum : Golongan
(sepaham, sepangkat, dsb)
Perempuan :Orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak, dan menyusui.
1.2
Alasan
Pemilihan Judul
Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya merupakan kekerasan
dimana yang menjadi korbannya adalah perempuan baik di lingkungan rumah tangga
maupun di luar lingkungan rumah tangga. Berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan,
seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dan lain
sebagainya. Yang lebih menyedihkan kasus tersebut dari waktu ke waktu terus
meningkat.
Korban KDRT yang cukup menonjol berdasarkan data Komnas Perempuan
adalah kekerasan terhadap istri (99%). Dan usia korban cenderung lebih muda
(dari kelompok usia 13-18 tahun, usia anak). Karakretistik usia pelaku sama
dengan tahun sebelumnya. Dalam konteks gender, perempuan sering menjadi piahk
yang dipersalahkan, dianggap lemah. Dalam posisi demikian, perempuan sering
tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki laki dalam memberikan
pembelaan. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi
masyarakat tentang perempuan yang semestinya lemah lembut, penuh cinta, setia
dan patuh apda suami. Dalam penyelesaian konflik seringkali menonjolkan
kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak hak korban.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk membuat penelitian dengan mengangkat masalah tindak kekerasan terhadap
perempuan ini kedalam sebuah karya tulis dengan judul :”KEKERASAN TERHADAP KAUM
PEREMPUAN”.
1.3
Tujuan Research
Yang Diselenggarakan
1. Melengkapi
tugas-tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.
2. Memotifasi
mahasiswa agar lebih berpikir kritis terhadap Hukum Perlindungan Kaum Perempuan.
3. Menambah
pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa baik di bidang hukum maupun sosial
masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan.
4. Menumbuhkan
kesadaran untuk menjaga kaum perempuan.
1.4 Sistematika
1.
PENDAHULUAN
1.1
Penegasan Mengenai Judul
1.2
Alasan Pemilihan Judul
1.3
Tujuan Research Yang Diselenggarakan
1.4
Sistematika
2.
ANALISIS LANDASAN TEORI
2.1
Analisis Hasil Hasil
2.2
Penampilan Anggapan
2.3
Pernyataan Hipotesis
2.4
Hal Hal Yang Diharapkan
3.
ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG
DIGUNAKAN
3.1
Sample; Prosedur Sampling
3.2
Metode Dan Prosedur Pengolahan Data
3.3
Metode Dan Prosedur Penganalisisan Data
4.
PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA
4.1
Uraian Secara Singkat
4.2
Penyajian Tabel
4.3
Penyajian Diagram/Grafik
5.
ANALISIS DATA
5.1
Analisis Statistik
5.2
Analisis Kualitatif
5.3
Analisis Kuantitatif
5.4
Analisis Kumparatif
5.5
Kesimpulan Analisis
6.
KESIMPULAN DAN SARAN SARAN
6.1
Ungkapan Kembali Secara Singkat
6.2
Nyatakan Kembali Metode Yang Digunakan
6.3
Ungkapan Kembali Penanggapan Masalah
6.4
Saran Dan Rekomendasi Yang Relevan
BAB
II
ANALISIS
LANDASAN TEORI
2.1
Analisis Hasil
Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul, Semua
perbuatan tersebut jelas telah melanggar UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia.
Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai
aturan hukum yang sudah ada dan ditujukan bagi perempuan dan anak belum
memadai. Berbagai kendala yang harus dihadapi sangat kompleks terutama ketika
korban harus berhadapan di muka hukum. Bahkan ada kecenderungan tidak berpihak
pada perempuan maupun anak sebagai korban.
1. Kekerasan seksual dan
psikis
KDRT merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling
dominan. Data KDRT Komnas perempuan Tahun 2009 menunjukkan jumlah kekerasan
terhadap istri (96% dari seluruh jumlah KDRT), sisanya mencakup kekerasan dalam
pacaran (KDP), kekerasan yang dilakukan oaleh mantan pacar, mantan suami dan
kekerasan pekerjaan rumah tangga. KDRT bisa terjadi pada semua orang yang masih
dalam lingkup satu rumah, dan kebanyakan korbannya perempuan dan anak-anak.
Namun, banyak kasus KDRT yang tidah terungkap di muka hukum karena adanya
banyak faktor, antara lain karena masyarakat tidak mengetahui bahwa kekerasan
yang dialami bisa diproses di muka hukum, karena adanya ancaman oleh pihak
tertentu sehingga menimbulkan rasa takut atau pun karena rasa malu jika
kasusnya diketahui umum, apalagi jika yang terjadi adalah KDRT secara Psikis
yang cenderung di abaikan dari pada KDRT secara fisik. Sehingga baru setelah
terjadi kekerasan yang berakibat fatal baru dilaporkan. Perlu diketahui bahwa
KDRT tidak hanya terjadi secara fisik saja, melainkan dapat berupa psikis, seksual
atau pun ekonomi. Fakta di masyarakat menunjukkan masalah utama yang mendorong
terjadinya KDRT adalah kurangnya komunikasi antar pihak dalam keluarga,
terlebih jika sudah menyinggung masalah paling urgent yaitu ekonomi. Ditambah
lagi jika suami atau anggota keluarga memiliki watak temperamental tinggi yang
cenderung ringan tangan dalam menghadapi masalah. Di sinilah keadaan perempuan
semakin tertindas, acap kali menjadi pelampiasan kemarahan suami. Kurangnya
pemahaman masyarakat mengenai tindak pidana KDRT pun menjadi pemicu semakin
tumbuh suburnya kekerasan yang cenderung mengintimidasi perempuan dan anak-anak
tersebut. Sehingga perlu adanya sosilalisasi dan relisasi UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dalam pengaturannya
sudah cukup komprehensif, yakni, mulai dari pengertian ”kekerasan dalam rumah
tangga” (KDRT), dengan rumusan yang mencakup bentuk-bentuk kekerasan dalam
perkara KDRT. Hal ini juga hampir identik dengan berbagai kejadian yang sering
muncul mengenai bentuk-bentuk KDRT dan tertuju pada diri korban/perempuan dan
anak. Di sisi lain, substansi pengaturan bahwa KDRT adalah delik biasa, hal ini
masih merupakan kesulitan bagi para penegak hukum. Hal ini mengingat bahwa
seringkali korban yang pada awalnya mengadukan perkara KDRT, misalnya karena
dianiaya atau kekerasan fisik, maka ditengah-tengah proses hukum sedang
berjalan, tiba-tiba korban menghendaki agar kasusnya dihentikan atau dicabut
dengan dalih karena sudah memaafkan pelaku, atau ketergantungan korban terhadap
pelaku.
2. Kekerasan Diranah Komunitas
Mencakup kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan
tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja imigran dan trafficking.
Tempat kejadian beragam seperti tempat kerja, di tempat penampungan (PJTKI), di
dalam kendaraan, ditempat-tempat umum lainnya dan masih banyak tempat lain.
a. Kekerasan Yang
Berkaitan Dengan Negara
Terjadi karena dilakukan oleh aparat negara atau yang terjadi
karena kebijakan diskriminatif atau pengabaian yang dilakukan oleh negara dalam
beragam bentukkya.
b. Perempuan Pekerja Imigran
Mereka merupakan salah satu tulang punggung pendapatan negara dalam
bentuk devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga
.BNP2TKI sebagai salah satu lembaga yang bertanggungjawab mengatur lalu lintas
penempatam pekerja migran dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada
tahun 2009 menangani sekitar 7709 kasus. Persoalan tumpang tindih kebijakan dan
wewenang antara depnakertrans dan BNP2P2TKI belum dapat terselesaikan.
Persoalan yang mendasar yang belum menjadi pemerhati adalah perihal sistem
pendataan. sehingga untuk mendapatkan data resmi yang komprehensif secara
berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan yang sangat sulit
didapatkan. Terkait perlindungan TKI UU yang mengatur Undang-Undang nomor
29/2009 tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonensia (TKI).
Tetapi dalam peraturan tersebut, lebih banyak mengatur mengenai penempatan TKI
bukan perlindungan. Sehingga perlu direvisi.
c. Perkawinan Yang
Tidak Dicatatkan
Terkait Perkawinan diatur UU No 10 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus
yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan
perkawinan penting dilakukan oleh pengantin sebagian jaminan kepastian hukum
perkawinannya sebagaimana diamanatkan pasal 2 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
kasus kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan
karena berbagai alasan, yaitu :
1. Kebanyakan alasan
menikah tanpa dicatatkan adalah “kemudahan” bagi suami untuk menikahi kembali
perempuan lain, baik istri kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Mengatasi perkawinan
antar agama
3. Akibat dari perkawinan
tidak dicatatkan, maka proses perceraian tidak dapat dilakukan melalui proses
peradilan. suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun perkawinan mereka
sudah dikarunia anak
4. Perceraian terjadi karena
suami tidak pulang ke rumah dan sulit dihubungi. kondisi ini membuat status
hukum istri tidak jelas baik terkait harta gono gini atau terkait hak
pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi mantan
istri yang ingin menikah lagi karena tidak ada akta nikah atau cerai.
d. Akses Perempuan Terhadap Keadilan, Layanan Kesehatan dan Pendidikan
Pada bulan april 2009 Komnas Perempuan menerima surat dari OMS
Samitra Abhaya kelompok Perempuan Pro-Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan
Komnas perempuan atas kasus dikeluarkan PCM seorang siswi SMKN 8 Surabaya.
Korban dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengiktu UAN oleh pihak sekolah
karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan
serta tata tertib sekolah. pihak sekolah menyarankan korban untuk mengikuti
kejar paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut.
Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia
dan tindakan yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi
yang bersangkutan dari sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib
sekolah. Pelarangan siswi hamil untuk tetap bersekolah dan mengikuti ujian
adalah melanggar Konvensi hak anak yang telah diratifikasi dan telah
diundangkan dalam UU Perlindungan anak No 23 Tahun 2002. Selain itu perlakuan
diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini sesungguhnya juga melanggar
Convention on the Elimination of All from discrimination Against Women (CEDAW)
yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
2.2 Penampilan Anggapan
Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban
kekerasan terhadap perempuan baik ditingkat perundang-undangan (seperti UU
PKDRT, PP no.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP &PA, MoU 6
Lembaga, Perkapolri soal HAM). Namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap
perempuan korban kekerasan tersebut sudah terpenuhi, karena masih terkendala
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperi KUHP, KUHAP dan UU Pengadilan
HAM, akses terhadap keadialn yang diselesaikan oleh non negara dan budaya hukum
aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda diskriminatif
dan bertentangan dengan konstitusi, terutama terkait isu moralitas. Ada
kecenderungan beberapa pemerintah daerah di dalam proses penyusunan perda-perda
diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi dengan perda serupa di daerah
lain.
Negara belum membuat langkah langkah yang sistemik dalam
perlindungan pekerja imigran, terlihat masih belum ada sinkronisasi diantara
pembuat kebijakan dalam penanganan korban pekerja imigran, penyelesaian masih
kasuistis dan masih belum mengakomodasikan data kuantitatif dari tingginya
kasus kasus pelanggaran hak asasi pekerja imigran terutama perempuan.
Negara belum optimal mengupayakan pemuliahan hak korban pekerja
migran yang bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan
seksual seperti pemerkosaan, penghamilan dan kekerasan psikis, cacat permanen,
karena upaya pemulihan saat ini yang cenderung menangani persoalam per pekerjaan.
Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan
khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik
dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan
terlihat masih rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, belum
optimalnya kebijakan dan anggaran yang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan pemajuan hak asasi perempuan.
Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya
perempuan, sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis,
dan status hukumnya.
2.3 Pernyataan Hipotesis
Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul,
Kekerasan terhadap wanita atau perempuan
merupakan perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Khusus
kekerasan sebagai peristiwa pelanggaran hukum dewasa ini sudah menjadi suatu fenomena
faktual dalam kehidupan masyarakat. Perlindungan hukum terhadap wanita
perlu diberikan pada korban yang umumnya lemah
melawan laki-laki. Oleh karena itu diperlukan berbagai pembenahan hukum
bagi korban kekerasan tersebut. Secara umum, negara harus mewujudkan
komitmennya untuk pengahpusan kekerasan terhadap perempuan berbasis komunitas
dan negara secara sistematis dengan perspektif hak asasi manusia dan
perlindungan korban terutama perempuan.
2.4 Hal-Hal Yang Diharapkan
Melalui
karya tulis ini, penulis mengharapkan dapat memberikan proporsi kekerasan yang
dialami oleh perempuan. Dengan diperolehnya proporsi jenis kekerasan yang
dialami oleh perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan
dapat memberikan informasi dan menambah wawasan mengenai kekerasan yang terjadi
pada perempuan. Hasil karya tulis ini dapat berlanjut untuk karya tulis
selanjutnya atau yang sejenis atau karya tulis ini sebagai acuannya. Serta
penulis mengharapkan kepada Pemerintah
sebaiknya melakukan pembenahan hukum seperti :
1.Negara melakukan pendokumentasian kekerasan kekerasan terhadap
perempuan secara nasional yang dapat diakses oleh semua pihak dan harus menjadi
dasar kebijakan nasional.
2.Negara menghapuskan dan mencegah lahirnya perda perda diskriminatif,
terutama yang terkait dengan isu moralitas dan seksualitas.
3.Negara mensinkronkan berbagai penghapusan peraturan untuk penghapusan kekerasan
terhadap perempuan dengan perspesktif Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan
korban, seperti revisi KUHP, KUHAP, UU Pengadilan HAM dan membuat RUU Bantuan
Hukum; dan membangun budaya hukum aparat penegah hukum dan masyarakat yang
masih bias gender.
BAB III
ANALISIS
DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
3.1 Sample, Prosedur Sampling
Dalam
penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan dokumen, yaitu melakukan penelitian
terhadap dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan masalah perlindungan hukum
bagi perempuan korban kekerasan.
3.2 Metode Dan Prosedur Pengolahan
Data
Penelitian untuk karya ilmiah ini hanya menggunakan
metode literature atau yang dikenal dengan menggunakan buku sebagai riset
pustaka, sebab penulis tidak turun langsung ke lapangan untuk meneliti pokok
dari permasalahan yang dibahas atau hanya menggunakan data sekunder.
Mengenai data yang yang akan diolah, penulis menggunakan
informasi baik dari media cetak seperti surat kabar, media elektronik, buku
sebagai bahan referensi dan data dari internet sebagai media untuk mengolah isu
yang ada.
3.3 Metode Dan Prosedur Penganalisisan
Data
Untuk metode dan prosedur penganalisisan data penulis awalnya
memperoleh data dan mengolah data maka dilanjutkan dengan menganalisis data
yang diperoleh dan membahas permasalahannya. Dengan menganalisis data secara
yuridis kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data diperoleh dari data
penelitian disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisis untuk
ditarik suatu kesimpulan.
BAB IV
PENGUMPULAN DAN
PENYAJIAN DATA
4.1 Uraian
Secara Singkat
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak
dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi
pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan
terhadap perempuan,.
Menurut Komisi Perempuan (2004) mengindikasikan 72% dari perempuan
melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.
Mitra Perempuan (2004) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para
suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari
perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di
Jakarta (2004); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih
dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan
pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis
Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262
responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal,
dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami
(pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan
dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja
mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami
(RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh
Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang
merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual
(11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan
lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37
responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai
dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul
pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka
suami melakukan kekerasan fisik.
Secara keseluruhan Komisi Perempuan dalam Pelaporan Kasus KDRT
Pasca UU-PKDRT menggambarkan adanya peningkatan jumlah kasus KDRT dari tahun ke
tahun, yakni, dimulai tahun 2004 (2.310 kasus), tahun 2005 (16.615 kasus),
tahun 2006(16.709 kasus), dan tahun 2007(19.253 kasus). Sehingga keseluruhan
kasus KDRT sejak tahun 2004 sampai dengan 2007 adalah sebanyak 54.887 kasus.
Diantara korban tersebut, terbanyak adalah isteri, yakni mencapai 85% (46.553
kasus )dari total korban. Anak perempuan merupakan korban ketiga terbanyak
(2.195 kasus) setelah pacar (4.940 kasus) dan pembantu rumah tangga menduduki
posisi keempat terbanyak (1.199 kasus)
Dari penelitian ini terungkap bahwa kekerasan selalu meningkat dari
tahun ke tahun dan sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri
meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut
kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit
dll.
4.2 Penyajian Tabel
Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, angka KDRT/Ranah
Personal selama 10 tahun terakhir sebagai berikut:
Tahun
|
Jumlah KDRT/ RP
|
2004
|
4.310
|
2005
|
16.615
|
2006
|
16.709
|
2007
|
19.253
|
2008
|
49.537
|
2009
|
136.849
|
2010
|
101.128
|
2011
|
113.878
|
2012
|
8.315
|
2013
|
11.719
|
Tabel 1
Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus
yang dilaporkan pengadalayanan dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data
2009-2011 diperoleh dari laporan mitra pengadalayanan dan data dari pengadilan
agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari pengadalayanan dan Komnas
Perempuan.
4.3 Penyajian
Diagram / Grafik
Grafik 1
Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus
yang dilaporkan pengadalayanan dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data
2009-2011 diperoleh dari laporan mitra pengadalayanan dan data dari pengadilan
agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari pengadalayanan dan Komnas
Perempuan.
BAB V
ANALISIS DATA
5.1 Analisis
Kumparatif
Data
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, angka KDRT/Ranah Personal selama 10 tahun
terakhir
Tahun
|
Jumlah KDRT/ RP
|
2004
|
4.310
|
2005
|
16.615
|
2006
|
16.709
|
2007
|
19.253
|
2008
|
49.537
|
2009
|
136.849
|
2010
|
101.128
|
2011
|
113.878
|
2012
|
8.315
|
2013
|
11.719
|
Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus
yang dilaporkan pengadalayanan dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data
2009-2011 diperoleh dari laporan mitra pengadalayanan dan data dari pengadilan
agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari pengadalayanan dan Komnas
Perempuan.
5.2 Kesimpulan
Analisis
Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa dari tahun 2004
sampai 2009 kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan. Sedangkan pada tahun 2009 ke 2010 mengalami penurunan pengaduan kasus
sekitar 35.721 kasus. Kemudian meningkat kembali ke tahun selanjutnya yaitu
tahun 2011 sekitar 12.750 kasus. Dilihat dari tahun 2011 ke tahun 2012
mengalami penurunan pengaduan kembali yang bahkan sangat besar yaitu sekitar
105.563 kasus. Dan terakhir di tahun 2012 ke 2013 mengalami kenaikan sekitar
3.404.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN SARAN
6.1 Ungkapan
Kembali Secara Singkat
Berbagai permasalahan kekerasan terhadap perempuan muncul,
Kekerasan terhadap wanita atau perempuan
merupakan perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Khusus
kekerasan sebagai peristiwa pelanggaran hukum dewasa ini sudah menjadi
suatu fenomena faktual dalam kehidupan masyarakat.
Perlindungan hukum terhadap wanita perlu diberikan pada korban yang umumnya
lemah melawan laki-laki. Oleh karena itu
diperlukan berbagai pembenahan hukum bagi korban kekerasan tersebut. Secara
umum, negara harus mewujudkan komitmennya untuk pengahpusan kekerasan terhadap
perempuan berbasis komunitas dan negara secara sistematis dengan perspektif hak
asasi manusia dan perlindungan korban terutama perempuan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dalam pengaturannya
sudah cukup komprehensif, yakni, mulai dari pengertian ”kekerasan dalam rumah
tangga” (KDRT), dengan rumusan yang mencakup bentuk-bentuk kekerasan dalam perkara
KDRT. Hal ini juga hampir identik dengan berbagai kejadian yang sering muncul
mengenai bentuk-bentuk KDRT dan tertuju pada diri korban/perempuan dan anak. Di
sisi lain, substansi pengaturan bahwa KDRT adalah delik biasa, hal ini masih
merupakan kesulitan bagi para penegak hukum. Hal ini mengingat bahwa seringkali
korban yang pada awalnya mengadukan perkara KDRT, misalnya karena dianiaya atau
kekerasan fisik, maka ditengah-tengah proses hukum sedang berjalan, tiba-tiba
korban menghendaki agar kasusnya dihentikan atau dicabut dengan dalih karena
sudah memaafkan pelaku, atau ketergantungan korban terhadap pelaku.
Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa dari tahun 2004
sampai 2009 kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan. Sedangkan pada tahun 2009 ke 2010 mengalami penurunan pengaduan kasus
sekitar 35.721 kasus. Kemudian meningkat kembali ke tahun selanjutnya yaitu
tahun 2011 sekitar 12.750 kasus. Dilihat dari tahun 2011 ke tahun 2012
mengalami penurunan pengaduan kembali yang bahkan sangat besar yaitu sekitar
105.563 kasus. Dan terakhir di tahun 2012 ke 2013 mengalami kenaikan sekitar
3.404.
6.2 Nyatakan
Kembali Metode Yang Digunakan
Penelitian untuk karya ilmiah ini hanya menggunakan
metode literature atau yang dikenal dengan menggunakan buku sebagai riset
pustaka, sebab penulis tidak turun langsung ke lapangan untuk meneliti pokok
dari permasalahan yang dibahas atau hanya menggunakan data sekunder.
Mengenai data yang yang akan diolah, penulis menggunakan
informasi baik dari media cetak seperti surat kabar, media elektronik, buku
sebagai bahan referensi dan data dari internet sebagai media untuk mengolah isu
yang ada.
Untuk metode dan prosedur penganalisisan data penulis awalnya
memperoleh data dan mengolah data maka dilanjutkan dengan menganalisis data
yang diperoleh dan membahas permasalahannya. Dengan menganalisis data secara
yuridis kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data diperoleh dari data
penelitian disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisis untuk
ditarik suatu kesimpulan.
6.3 Ungkapan
Kembali Penanggapan Masalah
Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban
kekerasan terhadap perempuan baik ditingakt perundang-undangan (seperti UU
PKDRT, PP no.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP &PA, MoU 6
Lembaga, Perkapolri soal HAM). Namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap
perempuan korban kekerasan tersebut sudah terpenuhi, karena masih terkendala
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperi KUHP, KUHAP dan UU Pengadilan
HAM, akses terhadap keadialn yang diselesaikan oleh non negara dan budaya hukum
aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda diskriminatif
dan bertentangan dengan konstitusi, terutama terkait isu moralitas.
Negara belum membuat langkah langkah yang sistemik dalam
perlindungan pekerja imigran.
Negara belum optimal mengupayakan pemuliahan hak korban pekerja
migran yang bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual
seperti pemerkosaan, penghamilan dan kekerasan psikis, cacat permanen.
Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan
khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik
dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan.
Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya
perempuan.
4.4 Saran Dan
Rekomendasi Yang Relevan
Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan hukum seperti :
1.Negara melakukan pendokumentasian kekerasan kekerasan terhadap
perempuan secara nasional yang dapat diakses oleh semua pihak dan harus menjadi
dasar kebijakan nasional.
2.Negara menghapuskan dan mencegah lahirnya perda perda
diskriminatif, terutama yang terkait dengan isu moralitas dan seksualitas.
3.Negara mensinkronkan berbagai penghapusan peraturan untuk penghapusan kekerasan
terhadap perempuan dengan perspesktif Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan
korban, seperti revisi KUHP, KUHAP, UU Pengadilan HAM dan membuat RUU Bantuan
Hukum dan membangun budaya hukum aparat penegah hukum dan masyarakat yang masih
bias gender.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Komnas
Perempuan, Tak hanya di Rumah; Pengalaman Perempuan Akan Kekererasan Di Pusaran
Relasi Kekuasaan Yang Timpang, 2010.
Jakarta.Komnas perempuan.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/jcomments/?task=rss&object_id=652&object_group=com_content&tmpl=component
http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/BANTUAN%20HUKUM%20ARTI%20DAN%20PERANANNYA.pdf.
http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Peradi-TerbitkanPeraturan-Bantuan
Hukum-Cuma-cuma.html
http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lain.
Dalam
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/feed/
http://www.lbhmawarsaron.or.id/bantuan-hukum/Artikel/urgensi-penegakan-hukum-dalam-penanganan-kasus-tindak-kdrt.html
http://www.lbh-makassar.org/?p=301
Rahayu,
Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), 2010. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang.
Ridwan Widyadharma, Ignatius. Etika Profesi Hukum dan Keperanannya.
2001. Semarang :Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ridwan Widyadharma, Ignatius. Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum.
2000. Semarang : Mimbar.
Rika
Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah tangga, 2006. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
INDEKS
A
Affirmative Action, 8
B
BNP2TKI, 6
C
CEDAW, 7
F
Fenomena Faktual, 17
H
HAM, 4
I
Isu Moralitas, 8
K
KDRT, 4
Kekerasan Diranah
Komunitas, 5
Kebijakan
Diskriminatif, 5
M
Mitra Perempuan, 12
Metode Literature, 18
P
Perempuan Pekerja
Imigran, 6
Perlindungan TKI UU, 6
R
Riset Pustaka, 18
S
Sosialisasi dan
Realisasi UU No 23 tahun 2004, 5
U
UU No 1 Pasal 2 tahun
1947, 6
Duh, kalau bicara korban kekerasan seksual selalu ada rasa geram tapi iya benar, sebagian korban tidak tau apa yang harus dilakukan sesudahnya. Kalau ada semacam panduan langkah2 yang bisa dilakukan korban, rasanya perlu sosialisasi lebih luas.
BalasHapusDuh, kalau bicara korban kekerasan seksual selalu ada rasa geram tapi iya benar, sebagian korban tidak tau apa yang harus dilakukan sesudahnya. Kalau ada semacam panduan langkah2 yang bisa dilakukan korban, rasanya perlu sosialisasi lebih luas.
BalasHapus